Skip to main content

Esensi dari Sistem Zonasi

Balik lagi bersama gue. Setelah sekian lama vakum karena kesibukan kuliah, akhirnya gue bisa 'ngidupin' blog ini lagi, yeay. Sebenernya ini kaya semacam terapi aja sih karena liburan semester gue gabut (lagi). Biar kesannya agak produktif aja sih. Oke, without further ado, let's get started! Oh iya, kali ini topiknya tentang pendidikan.



Zonasi menjadi perbincangan hangat di sekitar kita selain meme tentang sidang sengketa hasil pilpres di MK dan juga tentang Diwan beli ikan cupang yang mengundang gelak tawa. Hal ini semakin dirasakan oleh siswa serta orang tua siswa yang ingin mendaftarkan anaknya ke SD, SMP dan SMA (favorit). Eh kalo SD diseleksinya itu berdasarkan umur dulu, abis itu baru jarak dari tempat tinggal ke sekolah (zonasi). Jadi kalo misalkan ada anak yang berumur 9 tahun dan jarak dari rumah ke sekolahnya adalah 1 km sedangkan ada anak berumur 6 tahun sedangkan jarak dari rumah ke sekolahnya adalah 500 m. Maka kemungkinan yang diprioritaskan adalah anak yang berumur 9 tahun. Gue menduga kenapa umur yang pertama kali dilihat adalah karena ntar anak-anak yang berumur lebih tua tersebut berbeda dari anak2 yang lain. Dan mungkin ia akan mendapatkan cemoohan dari masyarakat karena tidak sama. Ya, perlu ada penanaman pengetahuan serta pemahaman yang radikal (mendasar) untuk mengubahnya.

Nah yang probelmatis serta dilematis itu buat kalian yang udah lulus dari SD serta SMP dan berniat buat mendaftarkan diri ke SMP dan SMA (favorit).
Gimana enggak problematis dan dilematis.

Gue: "Gue udah belajar mati2an buat dapet nilai bagus supaya bisa masuk ke sekolah ini malah enggak bisa. Yang dipake buat nentuinnya adalah domisili," ucapku sambil meremas ijazah asli.

Emak by lyke: "Jadi kan percuma ini anak saya belajar buat dapet nilai bagus biar masuk sekolah ini".

Tolok ukur utama untuk menyeleksi penerimaan siswa baru untuk jenjang SMP dan SMA adalah jarak dari rumah ke sekolah (zonasi). Jadi semakin rumah elu deket sama sekolahan yang kalian incer. Maka beruntunglah kalian. Dan bagi kalian yang rumahnya jauh dari sekolah yang kalian incer, maka merugilah kalian. Oh iya, jarak dari rumah ke sekolah ini diliat dari Kartu Keluarga elu ya. Mungkin ntar sekolahnya ngecek jarak dari rumah elu ke sekolah pake Google Maps or silimar apps like that, idk.

Eits, selain jarak ada yang harus diperhatikan terlebih dahulu. Yaitu liat kartu keluarga elu apakah tulisannya kabupaten atau kota. Jadi contohanya itu tulisannya, "KABUPATEN/KOTA: KOTA TANGERANG".

Kalo enggak salah tulisannya itu ada di bagian atas kanan di bawah rt/rw/kode pos, gue lupa. Kalo misalkan tulisannya kabupaten..., maka elu bisanya sekolah di sekolah kabupaten. Tapi kalo tulisannya itu kota..., maka elu bisa sekolah di sekolah Kota. Maksudnya gimana dah?

Jadi gini, nama sekolah ada macem2 kan. Ada sekolah yang ada frasa, "Kota"-nya ada juga yang enggak. Nah itu, jadi misalkan nama sekolahnya itu, "SMPN 9 Kota Tangerang" dan "SMAN 5 Tangerang" Nah, dari kedua sekolah ini elu bisa tau kalo SMP tersebut buat orang yang domisili (di kartu keluarga)-nya itu Kota Tangerang. Sedangkan SMA tersebut domisili (di kartu keluarga)-nya itu Kabupaten Tangerang. Nah itu cara gue bedainnya.

Nah yang fucked up itu adalah pembagian suatu kartu keluarga itu aneh. Bisa aja ada temen rumah (maksudnya anak tetangga) elu yang mau daftar di sekolah kota (katakanlah SMPN 9 Kota Tangerang), tapi kartu keluarga dia tulisannya Kota Tangerang, sedangkan kartu keluarga elu Kabupaten Tangerang atau sebaliknya. Jadi bisa temen elu yang diterima atau justru elu yang diterima. Padahal cuma beda rumah. Itu gatau sistem pembagiannya kaya gimana atau kartu keluarga temen elu itu yang terbaru sedangkan kartu keluarga yang elu pake itu udah lama. Soalnya kan kartu keluarga itu ada masa berlakunya.

Nah, karena hal ini banyak, eh gue enggak mau sebut banyak deh.

Mungkin orang tua mereka mikir, "Gila aja anak gue enggak keterima di sekolah ini cuma gara2 jarak rumah doang, enggak adil banget! Oke, gue akan melakukan sesuatu!" Sambil tersenyum jahat.

Gue tau hal ini dari temen gue dan gue juga pernah liat kalo kartu keluarga dia itu kabupaten, tapi tiba2 dia jadi siswa di sekolah tersebut. Usut punya usut, temen gue yang diterima tersebut itu ngubah kartu keluarganya atau numpang nama di kartu keluarga di teman, saudara atau kerabatnya yang deket sekolah yang dituju atau yang domisilinya di kota cuma biar bisa masuk sekolah yang dituju. Gue enggak tau caranya gimana, tapi satu hal yang dapet gue pastikan adalah pasti mereka itu melakukan sesuatu di disdukcapil atau lembaga yang berkaitan dengan administrasi penduduk.

Kalo enggak salah, hal ini terjadi ketika sistem zonasi masih dalam tahap percobaan (ya, gue dan siswa lainnya jadi 'kelinci percobaan'). Yaitu sekitar tahun 2017, pas gue daftar ke salah satu SMA favorit di kota.

Dan voila, temen gue jadi siswa di sekolah tersebut sedangkan gue enggak. Mungkin selain karena ditentukan oleh jarak, penerimaan siswa baru juga ditentukan oleh nilai hasil ujian nasional. Yang nilai gue sih biasa-biasa aja. Padahal gue udah seneng karena zonasi. Padahal rumah gue ke sekolah favorit (SMAN 8  Kota Tangerang) itu lumayan deket. Cuma jalan kaki beberapa gang juga udah sampe. Tapi ya gimana, ya. Dulu gue mikirnya itu ada siswa yang rumahnya lebih deket ke sekolah serta hasil nilai ujian nasionalnya itu lebih gede.

Gue mikir dan mikir lagi. Gimana kalo hal tersebut juga masih dilakukan pada saat ini? Berarti sia-sia dong Menteri Pendidikan, Bapak Muhadjir Effendy mengimplementasikan (menerapkan) sistem ini?

Tujuannya yang utama itu kan untuk menghapuskan sekolah favorit. Tapi banyak orang tua maupun siswa yang enggak setuju karena kualitas sekolahnya itu enggak sama. Jadi mereka maunya kualitas sekolah itu disamaratakan terlebih dahulu, baru nanti siswanya mau masuk sekolah mana aja. Jadi ini kaya maen salah2an, wkwk.

Pemerintah nyalahin orang tua siswa serta siswanya tersebut karena membuat suatu sekolah yang menghimpun (mengumpulkan) siswa2 cerdas di suatu sekolah sehingga membuat yang namanya, "sekolah favorit". Jadi kalo mau anak gue ke sekolah di deket rumah, ya kualitas sekolahnya dibagusin dulu lah. Lalu pemerintah, Menteri Pendidikan, Muhadjir Effendy bilang, yang harusnya diurusin itu adalah persebaran siswanya, sehingga di satu sekolah siswa tidak homogen (sama). Jadi misalnya sekolah itu sekolah favorit, ya isinya anak2 cerdas semua (persis kaya SMP gue). Sehingga persebaran siswa cerdas dan kurang cerdas jadi merata, atau singkatnya siswa tersebut jadi heterogen (beragam). Jadi di satu sekolah ada siswa yang cerdas, kurang cerdas, belum cerdas, malas. Jadi ketimpangan siswa antar sekolah jadi berkurang/hilang. Dan hal ini juga sudah diterapkan sekolah di luar negeri.

Dan mungkin kalo gue sebagai orang tua dari siswa tersebut, mungkin gue akan melakukan hal yang sama. Parent always choices best of the best for they child, right? As well as is fits with survival instinct of evolution theory. Tapi menurut pemerintah (menteri pendidikan), yang harus diutamakan adalah persebaran siswa tersebut. Misalnya hampir semua/semua sekolah itu siswanya udah heterogen (beragam), nah entar tenaga pendidik, fasilitas dan lain-lainya akan dievaluasi apakah sudah bisa mengakomodir (menyediakan semua yang dibutuhkan) siswa tersebut atau belum. Sehingga nantinya ada perbaikan atau perkembangan dari sekolah tersebut, mulai dari tenaga pengajar, fasilitas, ekstrakulikuler, dll. Masalahnya lagi adalah orang tua tidak mau anaknya menjadi 'kelinci percobaan' yang kedua atau ketiga, hal ini terlihat dari adanya orang tua yang melakukan demonstrasi di Surabaya.

Padahal, menurut gue ada satu esensi terpenting dalam kebijakan ini. Yaitu untuk menghapuskan pandangan bahwa, "nilai" itu adalah hal yang paling utama. Enggak peduli elu dapet nilai itu dari belajar mati-matian atau nyontek. Orang-orang, termasuk orang tua gue, mungkin gue juga, gatau dan kita. Ya, kita semua memandang nilai itu segalanya (ada benernya ketika elu harus dapet nilai tertentu sebagai syarat buat beasiswa). Elu denger aja ketika ngambil rapot kebanyakan orang tua siswa (biasanya ibu2) nanya ke orang tua siswa lain apa? Yup, benar.

"Anaknya dapet ranking berapa, Bu?"
Atau
"Gimana nilai anaknya, Bu?"

Ya semacam pertanyaan kaya gitulah. Gue enggak tau itu cuma pertanyaan basa-basi atau enggak. Kayaknya gue harus belajar tentang social skill lagi dah. Tapi ya begitu, dari sekolah kita udah dibanding-bandingakan, bukan sekolah, bahkan di rumah juga udah dibanding-bandingkan.

"Eh anak si anu disuruh sama orang tuanya aja nurut"
"Eh masa anaknya..."

Atau kalimat2 lain yang kaya gitu lah.

Secara tidak sadar, poses perpindahan/penghapusan pandangan/stigma/stereotip bawa nilai itu adalah segalanya udah dilakukan secara bertahap, dimulai dari kebijakan bahwa ujian nasional itu dijadikan sebagai bahan evaluasi, bukan sebagai penentuan kelulusan siswa, lalu kurikulum 2013 yang lebih memprioritaskan sikap dibandingkan kecerdasan, dll. Sampai kebijakan zonasi ini.

Terakhir gue bakal ngutip slogan/moto dari bagian awal/akhir kertas soal ujian.

"Prestasi penting, jujur yang utama".
- gatau pasti siapa yang bikin, mungkin tim penyusun soal, kali. Idk.

Comments

  1. Pengalaman gua juga sama halnya. Tapi tenkyu udh mengupas mengenai hal ini. Satu lagi selain mengenai "nilai" & pemerataan bahwa sistem zonasi ini akan memudahkan orang tua maupun pihak sekolah dalam jangkauan "pengawasan" terhadap anak. Di tunggu tulisan selanjutnya :))

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untuk membaca serta berkomentar.

      Delete
  2. Sebenernya ada tidaknya sistem zonasi ini, tidak terasa dampak yang signifikan di kampung tempat saya tinggal. Karena biasanya orang tua di sini memang mengarahkan ke sekolah terdekat. Mungkin diterapkannya sistem zonasi ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meratakan kualitas sekolah di Indonesia. Dengan menghapuskan istilah "sekolah favorit".

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin kalo di daerah rural (pedesaan) sekolah itu jarang, jadi mau enggak mau ya sekolah di sekolah yang ada. Jadi pilihannya terbatas.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

it's going on

Gue bingung antara mau ngelanjutin cerita kehidupan gue atau enggak. Soalnya gue udah tau lama tapi baru inget, kalo kita terlalu 'terbuka' di sosial media, bisa jadi informasi tersebut digunakan untuk hal2 yang kurang baik. Gue gatau ini bener atau cuma pikiran negatif gue doang. Tapi serius, gue bingung. Mungkin kalo gue ceritain masa2 SMP sama SMA gue gapapa kali ya? Soalnya itu udah terjadi ini. So, enjoy it ! Gambar hanya sebagai pemanis. Jadi pas abis UN selesai, gue gabut. Dirumah doang menunggu pengumuman hasil nilai UN. Mau sekolah, mager. Dirumah, juga gabut. Serba salah dah pokoknya. Mau makan, inget nilai UN, mau mandi inget nilai UN, dan mau2 yang lainnya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Dan diadakan acara perpisahan yang sederhana. Murid beserta wali murid duduk bersama, jadi SD gue enggak ada aula/tempat yang cukup besar. Jadi dua kelas itu dipisahkan oleh kaya semacam pintu lipet, terus pas rapat itu dibuka. Gue lupa rundown  acaran

Review Film Insidious: The Last Key

Halo, nama gue Ramadhan. Dan ini blog ke... Berapa ya? Gak taulah, pokoknya nanti gue kasih autobiografi singkat gue. Nah, disini gue akan me- review film karya sutradara Adam Robitel dkk. Yang udah gue tonton, jangan spoiler ! Bentar, gue kirim 'benang merah' filmnya. Parapsikolog Elise Rainer (Lin Shaye) yang sudah pensiun sejak peristiwa mengerikan di Insidious: Chapter 3 kini berurusan kembali dengan kegelapan dan iblis jahat. Ia bersama Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson) pulang kembali ke kampung halamannya untuk menyelidiki gangguan supranatural dirumah yang pernah ditempati Elise saat muda dulu. Pasti elu bertanya-tanya apa itu parapsikolog? Menurut KBBI parapsikolog adalah ahli kejiwaan yang menitikberatkan pada hal-hal yang tidak kasat mata. Ya apapun sebutannya, yang pasti kita tahu bahwa si Elise memiliki bakat luar biasa yang bisa 'pergi' ke dimensi lain (yang menakutkan) dan biasa disebut the further , berkomunikasi dengan hal

Aku, KTP dan Pak RW

Liburan telah usai, banyak yang telah terjadi. Dari mulai KTP gue yang baru jadi dan dianterin sama bapak ketua rukun warga yang baik hati dan tidak sombong sampe kuku kaki gue yang 'menganga' di akhir liburan. Gara2 hal ini, gue kuliah menggunakan sendal jepit hitam.  Yang mana mengundang netizen yang maha benar (baca: teman2 gue) nanya kaya gini. "Kok elu pake sendal sih, Ram?" "Kaki lu kenapa, cantengan  ya?" "Kok elu ganteng?" Oke, pertanyaan yang terakhir itu halu. Hampir semua temen gue dengan pertanyaan serupa dan berbagai macam pertanyaan lainnya. Jadi kalo dikampus *pip* elu ngeliat cowok dengan tampang bego dan menggunakan sendal jepit. Itu gue! Dan  please , gausah teriak histeris. Gue kaga ngapa2in lu. Soalnya gue trauma ada yang teriakin gue pas di daerah sekitar rumah. Gue sedang dibonceng oleh temen gue yang merangkap sebagai babu. Ditemani semilir angin yang menambah kenikmatan malam yang syahdu, tiba2 pas dijalan