Skip to main content

Review Film Insidious: The Last Key

Halo, nama gue Ramadhan. Dan ini blog ke... Berapa ya? Gak taulah, pokoknya nanti gue kasih autobiografi singkat gue. Nah, disini gue akan me-review film karya sutradara Adam Robitel dkk. Yang udah gue tonton, jangan spoiler! Bentar, gue kirim 'benang merah' filmnya.




Parapsikolog Elise Rainer (Lin Shaye) yang sudah pensiun sejak peristiwa mengerikan di Insidious: Chapter 3 kini berurusan kembali dengan kegelapan dan iblis jahat. Ia bersama Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson) pulang kembali ke kampung halamannya untuk menyelidiki gangguan supranatural dirumah yang pernah ditempati Elise saat muda dulu.

Pasti elu bertanya-tanya apa itu parapsikolog?
Menurut KBBI parapsikolog adalah ahli kejiwaan yang menitikberatkan pada hal-hal yang tidak kasat mata. Ya apapun sebutannya, yang pasti kita tahu bahwa si Elise memiliki bakat luar biasa yang bisa 'pergi' ke dimensi lain (yang menakutkan) dan biasa disebut the further, berkomunikasi dengan hal yang tidak kasat mata dan dalam beberapa kesempatan ia bisa melihat masa lalu.

Menurut sinopsis diatas, ini merupakan sekuel. Tapi pas gue liat epilognya, ini prekuel! Adam Robitel memberikan sedikit angin segar, pasalnya film horor ini dibumbui sedikit adegan komedi  yang cukup menggelitik. Dan juga seperti film Insidious pada umumnya, enggak ketebak. Pasti kalo udah ada backsound yang terdengar menyeramkan, kalian pada tutup mata. Tapi percuma, Adam Robitel menempatkan jumpscare yang enggak terduga. Yang pasti membuat jantung kalian berdebar-debar dan menggerutu kesal.

Selain perbedaan diatas, Insidious: The Last Key juga berpusat pada Elise yang diperankan oleh Lin Shaye (Elisentris) tentang masa kecilnya yang penuh luka. Terakhir, gue sangat menyarankan agar kalian nonton film ini. Terutama kalian Insidilicious. Akhir kata, gue mau mengutip dari Elise (Lin Shaye), kurang lebih isinya sebagai berikut:
"Aku tidak menyebut tempat itu rumah, melainkan tempat tinggal. Karena disana hanya ada luka".

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

it's going on

Gue bingung antara mau ngelanjutin cerita kehidupan gue atau enggak. Soalnya gue udah tau lama tapi baru inget, kalo kita terlalu 'terbuka' di sosial media, bisa jadi informasi tersebut digunakan untuk hal2 yang kurang baik. Gue gatau ini bener atau cuma pikiran negatif gue doang. Tapi serius, gue bingung. Mungkin kalo gue ceritain masa2 SMP sama SMA gue gapapa kali ya? Soalnya itu udah terjadi ini. So, enjoy it ! Gambar hanya sebagai pemanis. Jadi pas abis UN selesai, gue gabut. Dirumah doang menunggu pengumuman hasil nilai UN. Mau sekolah, mager. Dirumah, juga gabut. Serba salah dah pokoknya. Mau makan, inget nilai UN, mau mandi inget nilai UN, dan mau2 yang lainnya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Dan diadakan acara perpisahan yang sederhana. Murid beserta wali murid duduk bersama, jadi SD gue enggak ada aula/tempat yang cukup besar. Jadi dua kelas itu dipisahkan oleh kaya semacam pintu lipet, terus pas rapat itu dibuka. Gue lupa rundown  acaran

Esensi dari Sistem Zonasi

Balik lagi bersama gue. Setelah sekian lama vakum karena kesibukan kuliah, akhirnya gue bisa 'ngidupin' blog ini lagi, yeay. Sebenernya ini kaya semacam terapi aja sih karena liburan semester gue gabut (lagi). Biar kesannya agak produktif aja sih. Oke, without further ado ,  let's get started ! Oh iya, kali ini topiknya tentang pendidikan. Zonasi menjadi perbincangan hangat di sekitar kita selain meme tentang sidang sengketa hasil pilpres di MK dan juga tentang Diwan beli ikan cupang yang mengundang gelak tawa. Hal ini semakin dirasakan oleh siswa serta orang tua siswa yang ingin mendaftarkan anaknya ke SD, SMP dan SMA (favorit). Eh kalo SD diseleksinya itu berdasarkan umur dulu, abis itu baru jarak dari tempat tinggal ke sekolah (zonasi). Jadi kalo misalkan ada anak yang berumur 9 tahun dan jarak dari rumah ke sekolahnya adalah 1 km sedangkan ada anak berumur 6 tahun sedangkan jarak dari rumah ke sekolahnya adalah 500 m. Maka kemungkinan yang diprioritaska