Skip to main content

Budaya (di) Indonesia


Jadi, pas gue mau bayar belanjaan disalah satu toko swalayan dekat kampus. Gue melihat kejadian yang sangat menggelikan.

Ada bapak2 dan juga mbak2 yang langsung menuju kasir dan mendahului kami yang sedang mengantre. Bapak2 dibelakang gue tiba-tiba juga langsung menuju kasir.

Budaya yang sangat sederhana namun sulit sekali diterapkan di Indonesia. Sulit banget, meskipun gue duga kalo mbak2 yang mendahului itu merupakan salah satu mahasiswa di kampus gue juga. Yang notabenenya “calon guru” bagi generasi di masa depan.

Menurut gue, apapun kegiatannya, berapapun usianya, apapun jabatannya, bagaimanapun situasinya (dengan pengecualian kalo situasinya antara hidup dan mati, mungkin elu boleh enggak ngantre) harus mengantri dengan tertib.

Gue pernah baca cerita lucu daring. Jadi ada seorang pemuda yang lagi beli nasi goreng, lalu ada seorang Ibu datang menghampiri tempat penjual nasi goreng tersebut.

Si Ibu tersebut memesan nasi goreng dengan dengan berkata, “Saya duluan Bang. Saya laper, belom makan”. Dan si pemuda hanya bisa mengomel dalam hati, “Emangnya gue beli nasi goreng cuma iseng”.


Elu belom makan, elu buru2 mau ngerjain sesuatu, atau apapun alasan lainnya. Ya semua orang juga memiliki tugas/kepentingan masing-masing.

Mungkin ini salah satu penyebab negara Indonesia tidak pernah maju karena kebanyakan orang Indonesia tidak bisa memfilter/meyaring budaya Barat. Yang seharusnya enggak diikutin malah diikutin dan sebaliknya.

Selain budaya antre, ada juga budaya jujur dan membuang sampah. Ya keliatannya simpel banget dan emang simpel banget. Tapi dilakukan di Indonesia tuh langka banget orang kaya gini, atau mungkin sudah punah.

Budaya itu harus diterapkan sejak dini dan memerlukan proses yang sangat lama sehingga menjadi sebuah kebiasaan.

Ketiga budaya tersebut mengajarkan makna kesabaran dan kedisiplinan. Dan mungkin, mungkin karena kurangnya kepedulian tentang budaya yang baik ini. Muncul bibit2 perusak negara (koruptor).

“Jika ada berbagai macam budaya yang sudah ada sebelumya, kamu tinggal mengikuti budaya yang baik dan meninggalkan budaya yang buruk”. Kutipan hasil diskusi gue dengan teman deket gue.

Menulis adalah menasehati diri sendiri. -YN

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

it's going on

Gue bingung antara mau ngelanjutin cerita kehidupan gue atau enggak. Soalnya gue udah tau lama tapi baru inget, kalo kita terlalu 'terbuka' di sosial media, bisa jadi informasi tersebut digunakan untuk hal2 yang kurang baik. Gue gatau ini bener atau cuma pikiran negatif gue doang. Tapi serius, gue bingung. Mungkin kalo gue ceritain masa2 SMP sama SMA gue gapapa kali ya? Soalnya itu udah terjadi ini. So, enjoy it ! Gambar hanya sebagai pemanis. Jadi pas abis UN selesai, gue gabut. Dirumah doang menunggu pengumuman hasil nilai UN. Mau sekolah, mager. Dirumah, juga gabut. Serba salah dah pokoknya. Mau makan, inget nilai UN, mau mandi inget nilai UN, dan mau2 yang lainnya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Dan diadakan acara perpisahan yang sederhana. Murid beserta wali murid duduk bersama, jadi SD gue enggak ada aula/tempat yang cukup besar. Jadi dua kelas itu dipisahkan oleh kaya semacam pintu lipet, terus pas rapat itu dibuka. Gue lupa rundown  acaran

Review Film Insidious: The Last Key

Halo, nama gue Ramadhan. Dan ini blog ke... Berapa ya? Gak taulah, pokoknya nanti gue kasih autobiografi singkat gue. Nah, disini gue akan me- review film karya sutradara Adam Robitel dkk. Yang udah gue tonton, jangan spoiler ! Bentar, gue kirim 'benang merah' filmnya. Parapsikolog Elise Rainer (Lin Shaye) yang sudah pensiun sejak peristiwa mengerikan di Insidious: Chapter 3 kini berurusan kembali dengan kegelapan dan iblis jahat. Ia bersama Specs (Leigh Whannell) dan Tucker (Angus Sampson) pulang kembali ke kampung halamannya untuk menyelidiki gangguan supranatural dirumah yang pernah ditempati Elise saat muda dulu. Pasti elu bertanya-tanya apa itu parapsikolog? Menurut KBBI parapsikolog adalah ahli kejiwaan yang menitikberatkan pada hal-hal yang tidak kasat mata. Ya apapun sebutannya, yang pasti kita tahu bahwa si Elise memiliki bakat luar biasa yang bisa 'pergi' ke dimensi lain (yang menakutkan) dan biasa disebut the further , berkomunikasi dengan hal

Esensi dari Sistem Zonasi

Balik lagi bersama gue. Setelah sekian lama vakum karena kesibukan kuliah, akhirnya gue bisa 'ngidupin' blog ini lagi, yeay. Sebenernya ini kaya semacam terapi aja sih karena liburan semester gue gabut (lagi). Biar kesannya agak produktif aja sih. Oke, without further ado ,  let's get started ! Oh iya, kali ini topiknya tentang pendidikan. Zonasi menjadi perbincangan hangat di sekitar kita selain meme tentang sidang sengketa hasil pilpres di MK dan juga tentang Diwan beli ikan cupang yang mengundang gelak tawa. Hal ini semakin dirasakan oleh siswa serta orang tua siswa yang ingin mendaftarkan anaknya ke SD, SMP dan SMA (favorit). Eh kalo SD diseleksinya itu berdasarkan umur dulu, abis itu baru jarak dari tempat tinggal ke sekolah (zonasi). Jadi kalo misalkan ada anak yang berumur 9 tahun dan jarak dari rumah ke sekolahnya adalah 1 km sedangkan ada anak berumur 6 tahun sedangkan jarak dari rumah ke sekolahnya adalah 500 m. Maka kemungkinan yang diprioritaska