Sepi...
Hanya suara murotal dan zikir yang terdengar terus menerus dari mesjid yang terletak tidak jauh dari kos2anku.
Sunyi sekali.
Kamar sebelah kananku sudah diam.
Diam dimakan gelap.
Tak tau kemana mereka.
Toh, itu bukan urusanku.
"Kos2an lu jauh banget sih,"
Kalimat seperti itu yang sering diucapkan teman2ku yang singgah disini.
Tapi aku hanya diam dan tetap tersenyum.
Karena aku percaya.
Aku percaya bahwa jika kita mengeluh dan mengucapkannya, itu hanya akan memperburuk suasana.
Mau makan untuk berbuka dan sahur, kamu harus jalan beberapa ratus meter untuk kesana.
Bahkan toko swalayan kecil saja juga jauh dan harus menyebrangi jalan besar.
Warung dengan kearifan lokal memang banyak.
Ya, banyak pembeli yang mengumpat karena harganya selangit, mungkin sang empunya ingin cepat kaya.
Entahlah...
Ketika pagi tiba, sinar mentari merayap masuk ke sela2 kamarku.
Setelah cukup puas tidur sehabis Subuh, aku keluar mencoba menghirup udara segar.
Oh tidak, bau apa ini?
Ini bau asap, asap pembakaran sampah.
Apakah ini keluhan?
Tentu saja iya.
Kenapa kau tidak mengeluh saja kepada Tuhanmu?
Aku malu...
Beberapa kali keluhan ini kutulis di media sosialku.
Kurasa inilah puncaknya.
Seperti puncak Everest yang dingin.
Beku sampai kaku!
Aku berusaha mencoba memendam semua keluhan itu, tetapi tidak bisa.
Bukankah gunung es sekalipun akan retak atau mencair?
Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.
Apakah ia akan mencair perlahan-lahan atau retak dan pecah dengan cepat, menimbulkan luka yang besar.
Tulisan ini ditulis oleh seorang mahasiswa yang pertama kali merasakan bulan puasa (Ramadan) di kos2an dan ditemani oleh beberapa nyamuk betina yang sedang mencari makan ditubuhku.
Makhluk hidup kecil sekalipun ingin hidup, bereproduksi, berusaha, walaupun bisa tewas ditepukan jari atau pestisida. Tapi apa salahnya mencoba lebih keras dari sebelumnya?
Menulis adalah menasehati diri sendiri.
-Yana Nurliana
Hanya suara murotal dan zikir yang terdengar terus menerus dari mesjid yang terletak tidak jauh dari kos2anku.
Sunyi sekali.
Kamar sebelah kananku sudah diam.
Diam dimakan gelap.
Tak tau kemana mereka.
Toh, itu bukan urusanku.
"Kos2an lu jauh banget sih,"
Kalimat seperti itu yang sering diucapkan teman2ku yang singgah disini.
Tapi aku hanya diam dan tetap tersenyum.
Karena aku percaya.
Aku percaya bahwa jika kita mengeluh dan mengucapkannya, itu hanya akan memperburuk suasana.
Mau makan untuk berbuka dan sahur, kamu harus jalan beberapa ratus meter untuk kesana.
Bahkan toko swalayan kecil saja juga jauh dan harus menyebrangi jalan besar.
Warung dengan kearifan lokal memang banyak.
Ya, banyak pembeli yang mengumpat karena harganya selangit, mungkin sang empunya ingin cepat kaya.
Entahlah...
Ketika pagi tiba, sinar mentari merayap masuk ke sela2 kamarku.
Setelah cukup puas tidur sehabis Subuh, aku keluar mencoba menghirup udara segar.
Oh tidak, bau apa ini?
Ini bau asap, asap pembakaran sampah.
Apakah ini keluhan?
Tentu saja iya.
Kenapa kau tidak mengeluh saja kepada Tuhanmu?
Aku malu...
Beberapa kali keluhan ini kutulis di media sosialku.
Kurasa inilah puncaknya.
Seperti puncak Everest yang dingin.
Beku sampai kaku!
Aku berusaha mencoba memendam semua keluhan itu, tetapi tidak bisa.
Bukankah gunung es sekalipun akan retak atau mencair?
Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat.
Apakah ia akan mencair perlahan-lahan atau retak dan pecah dengan cepat, menimbulkan luka yang besar.
Tulisan ini ditulis oleh seorang mahasiswa yang pertama kali merasakan bulan puasa (Ramadan) di kos2an dan ditemani oleh beberapa nyamuk betina yang sedang mencari makan ditubuhku.
Makhluk hidup kecil sekalipun ingin hidup, bereproduksi, berusaha, walaupun bisa tewas ditepukan jari atau pestisida. Tapi apa salahnya mencoba lebih keras dari sebelumnya?
Menulis adalah menasehati diri sendiri.
-Yana Nurliana
Ku dukaa bacanyaaa
ReplyDeleteKu suka membacanyaaa
Wkwk
Delete